PERBEDAAN BANK SYARIAH DAN BANK KONVENSIONAL

Tidak sedikit masyarakat umum dan bahkan kalangan intelektual terdidik, yang belum memahami konsep bank syariah. Penelitian yang dilakukan baru-baru ini oleh Bank Indonesia bekerjasama dengan IPB Bogor, UNDIP Semarang dan FE Universitas Brawijaya untuk kawasan Pulau jawa, menunjukkan bahwa ada 10,2% masyarakat yang menganggap bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvensional. Mereka juga beranggapan bagi hasil dan margin keuntungan, sama saja dengan bunga.
Mereka mengklaim, bahwa bagi hasil hanyalah nama lain dari sistem bunga. Tegasnya, bagi hasil dan bunga sama saja. Pandangan ini juga masih terdapat di kalangan sebagian kecil ustazd yang belum memahami konsep dan operasional bagi hasil.


Perbedaan
Dalam tulisan ini akan diuraikan setidaknya lima perbedaan mendasar bank syariah dengan bank konvensional. Pertama, bank syariah berdasarkan bagi hasil dan margin keuntungan, sedangkan bank biasa memakai perangkat bunga. Kedua, pada bank syariah hubungan dengan bank syariah berbentuk kemitraan. Sedangkan pada bank biasa hubungan itu berbentuk debitur – kreditur. Ketiga, bank syariah melakukan investasi yang halal saja, sedangkan bank biasa, bisa halal, syubhat dan haram. Keempat, bank syariah berorientasi keuntungan duniawi dan ukhrawi, yakni sebagai pengamalan syariah. Sedangkan orientasi bank biasa semata duniawi. Kelima, bank syariah tidak melakukan spekulasi mata uang asing dalam operasionalnya untuk meraup keuntungan, sedangkan biasa, banyak yang masih melakaukan. Bank syariah tidak memandang uang sebagai komoditi, sedangkan bank syariah tidak memandang uang sebagai komoditi, sedangkan bank biasa cenderung berpandangan demikian.

Produk Bank Syariah
Dalam bank syariah ada tiga produk pembiayaan yang dipraktekkan. Pertama, bagi hasil, kedua, jual beli dan ketiga, ijarah (leasing) dan jasa.
Bagi hasil, terdiri dari mudharabah dan musyarakah. Jual beli, terdiri dari produk ba’i murabahah, ba’i istitsna’ dan ba’i salam. Jasa, terdiri dari wakalah, kafalah hiwalah. Sedangkan ijarah terdiri dari ba’i at-takjiri dan al-ijarah munthiyah bit tamlik.
Jadi, dalam perbankan syariah, bagi hasil hanyalah salah satu produk pembiayaan perbankan syariah. Saat ini bank syariah di Indonesia, masih dominan menerapkan produk jual beli, khususnya, jual beli murabahah dan istisna’, kecuali bank Muamalat. Bank ini secara bertahap berusaha menerapkan konsep bagi hasil dalam pembiayaan.
Karena banyaknya prosuk bank syariah maka sistem bagi hasil, sebagi ciri khas utama bank syariah tidak diterapkan secara menyeluruh dalam operasi bank muamalah, karena memang, bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) hanyalah salah satu dari konsep fikih muamalah dan merupakan salah saru sistem bank syariah. Namun harus dicatat, meskipun bagi hasil belum diterapkan secara dominan, tetapi praktek bunga sudah bisa dihindarkan secara total, khususnya bank Muamalat dan bank Syariah Mandiri.

Tujuh Perbedaan
Selanjutnya, akan dijelaskan pula perbedaan bank bunga dan bagi hasil, agar masyarakat tidak lagi menyamakan bunga dan bagi hasil. Setidaknya, ada tujuh perbedaan penting antara bunga dan bagi hasil. Tujuh perbedaan ini sudah terlalu cukup bagi kita untuk memahami konsep bagi hasil dan bedanya dengan bunga.
Pertama, penentuan bunga ditetapkan sejak awal, tanpa pedoman pada untung rugi, sehingga besarnya bunga yang harus dibayar sudah diketahui sejak awal.
Misalnya, si A meminjam uang di sebuah bank konvensional sebesar Rp, 10.000.000,- dengan jangka waktu pelunasan selama 12 bulan. Besar bunga yang harus dibayar si A, ditetapkan bank secara pasti, misalnya 24 % setahun. Dengan demikian si A harus membayar bunga Rp. 200.000 perbulan, selain pokok pinjaman (perhitungan bunga ini didasarkan pada sistem penyusutan).
Sedangkan pada sistem bagi hasil, penentuan jumlah besarnya tidak ditetapkan sejak awal, karena pengambilan bagi hasil didasarkan untung rugi dengan pola nisbah (rasio) bagi hasil. Maka jumlah bagi hasil baru diketahui setelah berusaha atau sesudah ada untungnya.
Misalnya si A menerima pembiayaan mudharabah sebesar Rp. 10.000.000,- dengan jangka waktu pelunasan 12 bulan. Jumlah bagi hasil yang harus dibayarkan kepada bank belum diketahui sejak awal, kedua belah pihak hanya menyepakati porsi bagi hasil, misalnya 80% keuntungan untuk nasabah, dan 20% untuk bank syariah.
Pada bulan pertama si A mendapatkan keuntungan bersih misalnya, sebesar Rp. 1.000.000 maka bagi hasil yang disetornya kepada bank syariah ialah 20% x Rp. 1.000.000,- = Rp. 200.000,- ditambah pokok pinjaman.
Pada bulan ketiga, keuntungan mungkin saja menurun, misalnya Rp. 750.000,- maka bagi hasil yang dibayarkan pada bulan tersebut ialah 20% x Rp.750.000 – Rp. 150.000,-
Dengan demikian, jumlah bagi hasil yang selalu berfluktuasi dari waktu ke waktu, sesuai dengan besar kecilnya keuntungan yang diraih mudharib (pengelola dana/pengusaha). Hal ini berbeda sekali dengan bunga.
Kedua, besarnya persentase bunga dan besarnya nilai rupiah, ditentukan berdasarkan jumlah uang yang dipinjamkan.
Ketiga, dalam sistem bunga, jika terjadi kerugian, maka kerugian itu hanya ditanggung si peminjam (debitur)saja, berdasarkan pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan, sedangkan pada sistem bagi hasil, jika terjadi kerugian, maka hal itu ditanggung bersama oleh pemilik modal dan peminjam. Pihak perbankan syariah menaggung kerugian materi, sedangkan si peminjam menanggung kerugian tenaga, waktu dan pikiran.
Keempat, pada sistem bunga, jumlah pembayaran bunga kepada nasabah penabung/deposan tidak meningkat, sekalipun keuntungan bank meningkat, karena persentase bunga ditetapkan secara pasti tanpa didasarkan pada untung dan rugi. Sedangkan dalam sistem bagi hasil jumlah pembagian laba yang diterima dengan deposan akan meningkat, manakala keuntungan bank meningkat, sesuai dengan peningkatan jumlah keuntungan bank.
Kelima, pada sistem bunga, besarnya bunga yang harus dibayar si peminjam pasti diterima bank, sedangkan dalam sistem bagi hasil besarnya tidak pasti, tergantung pada keuntungan perusahaan yang dikelola si peminjam, sebab keberhasilan usahalah yang menjadi perhatian bersama pemilik modal (bank) dan peminjam.
Keenam, pada sistem bunga dilarang oleh semua agama samawi, sedangkan sistem bagi hasil tak ada agama yang mengecamnya. Bunga dilarang dengan tegas oleh agama-agama Yahudi, Nasrani dan Islam, seperti terungkap di bawah ini.
“Jika kamu meminjam harta kepada salah seorang putra bangsaku, janganlah kamu bersikap seperti orang yang menghutangkan, jangan kamu meminta keuntungan untuk hartamu (Kitab Keluaran Perjanjian lama, Ayat 25 pasal 22).
Ketujuh, pihak bank dalam sistem bunga, memastikan penghasilan debitur di masa akan datang, dan karena itu ia menetapkan sejak awal jumlah bunga yang harus dibayarkan kepada bank. Sedangkan dalam sistem bagi hasil, tidak ada pemastian tersebut, karena yang bisa memastikan penghasilan di masa depan hanyalah Allah.
Forum Kajian Ekonomi dan Bank Islam (FKEBI) IAIN-SU

sumber : http://grou.ps/kap/blogs/14418

0 komentar:

Posting Komentar

 
aby blog - Back to TopSupported by ekonomi islam